kauselaludihatiku

apa yang terkirim dari-Nya; orang-orang terbaik dan tercinta, yang mengkhianati, jalan hidup, saat-saat sulit, kebahagiaan, dan semua yang menghampiri dalam hidupku, hingga ke hal-hal yang remah, adalah nikmat untuk dikenang, diresapi, dihayati, dan ditangkap moment-moment puitiknya; untuk disimpan dalam hati. untuk segala itu; kauselaludihatiku.

My Photo
Name:

lelaki, majalengka-tiga dekade silam, jakarta.

Tuesday, June 08, 2010

LANTAK

Ruangan itu lengang. Tak ada siapa pun, juga pemilik kursi bersandaran kepala itu. Dua buah danish croissant sebesar kepalan tangan, masih belum tersentuh di atas meja. Cangkir bergambar bunga, tak lagi mengepulkan asap aroma kopi, sepertinya belum sempat diminum dari sejak diseduhkan office boy tadi pagi. Laptop putih mutiara dibiarkan hidup, hanya lampu LED indicator battere berwarna hijau toska, berkedip. Dari speaker Harman Kardon-nya, terdengar lirih lagu Dealova yang sepertinya diputar berulang-ulang. Televisi empat belas inch di sudut ruangan sedari tadi masih hangat memberitakan, Jakarta pagi ini kembali diguncang teror bom.

---

Agak kaget ketika Lilik, sekretaris Corporate Communication, memintaku untuk menghadap Mbak Dian--demikian ia lebih suka dipanggil, ketimbang panggilan “Bu” atau bahkan “Boss”—di ruangannya.

“Pe, ada berita bagus, kita dapet hak siar MU maen di Jakarta. Kayaknya kamu harus siap-siap sibuk”, wanita grand manager berwajah teduh itu mengabarkan penuh binar di bola matanya. Aku tak kalah kagetnya. MU? Klub juara Liga Inggris, juga juara dunia itu, akan maen di Jakarta? Benakku lalu penuh warna.

“Kita mungkin dapat hak siar seluruh rangkaian kegiatan MU selama di Jakarta. Dari penyambutan di Bandara, training session, meet and greet, charity ceremonial, dan tentunya, siaran eksklusif pertandingan langsungnya. Tolong kamu siapkan hal-hal yang berkaitan dengan promosinya. Termasuk budget, jika kamu perlu shooting untuk keperluan promosi. Kita punya waktu dua bulan. Kamu bikin yang bagus. Aku percaya sama kamu, Pe”

“Baik, Mbak..” jawabku singkat. Seluruh kata masih tercekat oleh kekagetan berita Si Setan Merah itu. Juga kegamangan akan tanggung jawab atas kepercayaan itu.

“Oke, untuk awal, bikin dulu promo teaser. Kamu pilihin footages-nya dari stockshoot BPL yang kita punya. Tampilin yang hebat-hebat, seperti Ronaldo, Rooney, Giggs, atau siapa aja lah…”

“Tapi, Mbak, Ronaldo masih dalam proses negosiasi transfer ke Madrid. Kalo jadi pindah sebelum mereka tour ke Jakarta, kayaknya Ronaldo udah gak di MU lagi…”

“Gak apa-apa kamu siapin aja dulu, kalo memang Ronaldo pergi, tinggal take out aja footage dia”

“Baik, Mbak, segera saya kerjakan” jawabku seperti memberi isyarat untuk segera pamit.

“Sekali lagi Pe, Aku percayakan ke kamu. Makasih ya…”

Aku tak menjawabnya, hanya tersenyum. Senang karena harus mengerjakan sesuatu yang memang sangat aku suka kerjakan. Terlebih, mendapat kepercayaan dari atasan sedemikian besarnya.

---


Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh kerja keras. Juga keriangan. Meski beberapa malam dilewatkan dengan begadang, tak juga menjadi halangan dan sesuatu yang harus dikeluhkan. Graphic Designer dan Video Editor bahu-membahu mengerjakan hal-hal untuk keperluan promo on-air dan off air. Divisi off-air event dan public relations juga tak kalah sibuk menyiapkan press conference di beberapa venue di berbagai kota, dan itu tak membuat mereka lantas kehilangan gairah dan energi. Semua bekerja penuh riang dan dedikasi.

Sebagai sebuah brand internasional, MU memiliki pattern dan regulasi yang sangat ketat. Meski membuat ribet dan pusing, semua mahfum dan mesti menghormati. Berbagai kendala yang berkaitan dengan copyright, kerap menjadi sandungan dan benar-benar merepotkan. Tapi, semua berjalan dengan lancar dan menyenangkan.

“Pe, LOC minta kita gak pake footages dari Liga Inggris yang kita punya. Berarti semua promo on air kita harus diturunin dulu. Besok mereka kirim kaset footages yang mereka punya. Kita ngikut aja lah”, pada H-23 Mbak Dian memberi arahan.

Revisi dilakukan.

“Pe, mereka minta, official sponsor ditampilin logo-logonya. Kamu bikin kecil aja lah, yang penting kelihatan. Toh promo on air ini gak ada charge-nya alias gratisan”, Mbak Dian, enam hari berikutnya.

Revisi kembali berulang.

“Press con di MU café kayaknya bakal dihadiri banyak wartawan olahraga. Kita bikin yang special, supaya feedbacknya juga optimal. Bikin VT yang bagus ya, bikin seolah-olah event ini yang terhebat dalam sejarah sepakbola negeri kita. Pasti wartawan itu menulis yang sama hebatnya di koran mereka. Artinya promosi kita punya penetrasi yang maksimal”, masih dengan energi yang sama, Mbak Dian menyemangati semua pasukan.

Semua bekerja, seperti rangkaian komponen mekanik yang saling berkaitan dan berkontribusi.

“Surabaya kita bikin merah! Kita bikin acara nonton bareng di sana. Kita hibur penggila sepakbola Surabaya supaya gak kecewa karena gak bisa menonton langsung ke Jakarta. Bikin yang menarik dan menghibur. Kabarkan acara ini secepatnya dengan promo on air. Full graphic aja, gak apa-apa!” Mbak Dian mengeluarkan strategi beberapa hari menjelang pertandingan digelar. Amunisi lain yang mungkin sangat berharga.

Tak ada energi yang terbuang percuma. Semangat semakin meninggi.

Seperti menyambut tamu besar, semua persiapan matang dikerjakan. Ada beratus, bahkan beribu orang yang telibat di event ini. Sisi komersial dan olahraga saling bergandeng tangan. Inilah industri tontonan mutakhir. Olahraga tak melulu hanya orang bersimbah peluh di lapangan. Tapi kini menjelma menjadi mesin pencetak uang. Juga hiburan bagi jutaan penggemar yang mengelu-elukannya. Olahraga yang mempersatukan hati jutaan orang. Olahraga yang menghidupi banyak kepentingan. Olahraga yang memupus sekat-sekat perbedaan. Semua lebur dalam satu kegembiraan. Kerinduan menyaksikan sang klub juara dunia, bertarung dengan pemain-pemain terbaik pilihan public Indonesia. Dan hari yang dinanti itu, tinggal menghitung jari saja.

---

Jumat, 17 Juli 2009, empat hari menjelang pertarungan yang dinanti itu, pagi jam 07.47 WIB, Mega Kuningan diguncang ledakan dahsyat mematikan. Hotel megah itu meradang. Selang sepuluh menit berikutnya, hotel yang sama megahnya, di area yang sama, diguncang ledakan yang tak kalah hebatnya. Puluhan terkulai layu dengan tubuh tercabik. Jiwa-jiwa melayang di tempat, juga di rumah sakit beberapa saat setelah korban itu dievakuasi. Hotel tempat kelak bintang-bintang dari Manchester menginap itu, dilukai oleh bom bunuh diri. Sebuah pesan singkat pada dunia seketika terkirim, negeri yang ramah-tamah ini, tak aman untuk dikunjungi. Apalagi berpesta sepakbola bagi pemain-pemain terbaik dunia.

Gugup dan gemetar aku memasuki ruang kerja. Bagaimana nasib event yang sudah kita persiapkan dua bulan sebelumnya? Berkelebat bayangan riuh tribun Stadion Senayan yang bergetar hebat oleh nyanyian “Garuda di Dadaku” dari lebih tujuh puluh ribu penontonnya. Juga masih kental bayangan berfoto bareng dengan beberapa pemain pujaan. Betapa jarak yang sangat dekat dengan mereka, bukan sekedar gambar hidup di layar televisi. Aku tak sanggup lagi memimpikannya…

Aku memasuki ruangan GM Corcomm sendirian. Tak mendapati siapapun. Lengang. Hanya televisi empat belas inch yang mengabarkan berita hangat pengeboman itu. Juga lagu lirih Dealova dari laptop putih mutiara.

Aku hanya merasakan, hati pemilik ruangan ini pasti sedang gundah. Sedih. Sesedih menatap korban yang bergeletakan. Juga keluarga yang ditinggalkan. Wanita berparas lembut itu pasti kini sedang murung menanti ketidakpastian, hingga pagi ini ia tak sempat menikmati kopi dan Danish croissant kesukaannya. Petaka ini benar-benar akan menghancurkan segalanya. Hancur benar-benar. Lantak.

**mengenang kesibukan--yang riang gembira--setahun lalu.. Kita Tidak Takut !!**