kauselaludihatiku

apa yang terkirim dari-Nya; orang-orang terbaik dan tercinta, yang mengkhianati, jalan hidup, saat-saat sulit, kebahagiaan, dan semua yang menghampiri dalam hidupku, hingga ke hal-hal yang remah, adalah nikmat untuk dikenang, diresapi, dihayati, dan ditangkap moment-moment puitiknya; untuk disimpan dalam hati. untuk segala itu; kauselaludihatiku.

My Photo
Name:

lelaki, majalengka-tiga dekade silam, jakarta.

Monday, August 01, 2011

Kepergian Gatan

Jumat, pagi pukul enam seperempat, berita dari Pak RT membuatku terperanjat.

“Pak Jepe, Gatan, putra kedua Pak Gatot barusan meninggal. Mohon bantuannya menyiapkan pengurusan jenazah. Saya mau urus surat kematian ke Pak RW”.

Spontan aku beristirja (mengucap innalillaahi wainnailayhi rojiun), lalu, tanpa sempat membuka gerbang dan meyilakan Pak RT masuk halaman, aku bertanya; “Meninggal karena apa Pak?”.

“Belum jelas Pak, diagnosa dokter sih kemungkinan DBD”, jawabnya seperti bergegas, dan segera mengucap salam.

Aku masih terdiam¬, membayangkan Gatan, anak licah berusia empat tahun, baru saja meninggal. Berkelebat bayangan dalam ingatan, saat bocah lucu itu di jalan konblok komplek bermain mobil-mobilan. Ah, usia memang rahasia Tuhan.

---

Hanya sempat cuci muka, dan mengabarkan kabar duka ini kepada ummi yang tengah menyiapkan sarapan, aku langsung menuju rumah Pak Gatot. Sudah terlihat beberapa warga di rumah itu. Beberapa diantaranya ibu-ibu sedang menenangkan ibunda Gatan. Pak Ronald, yang masih gemetar karena tadi pagi memangku tubuh Gatan yang sudah kaku ke klinik Assalam, tampak sigap menyiapkan beberapa persiapan.

“Kita beli kertas kuning untuk bendera tanda duka”, katanya mengajakku. Aku mengiyakan.

Pak Purwa yang sudah rapi hendak pergi kerja, tak ketinggalan ikut sibuk menyiapkan prosesi pemulasaraan. “Kita perlu tenda untuk pelayat, juga untuk bilik memandikan jenazah”, katanya memberi arahan.

Semua sibuk, saling membantu, saling menyiapkan berbagai keperluan.

Pak Oki cekatan mengeluarkan kursi-kursi untuk tempat duduk tamu pelayat. Pak Bambang menyiapkan selang untuk menyalurkan air dari rumahnya. Pak Nardi, Pak Hari, Pak Ferry, Pak Imam, dan Pak Purba membentangkan terpal untuk dijadikan bilik pemandian. Ibu-ibu menggelar tikar, lalu mengaji ayat-ayat A Qur’an. Bu Syahruddin menyiapkan masakan untuk sarapan di beranda rumah Pak Ronald. Semua berjibaku, tanpa diminta dan tanpa saling menunggu. Semua lebur untuk satu kebersamaan, tanpa ada sekat perbedaan.

Beranjak siang, beberapa warga pamit karena tak mungkin meninggalkan pekerjaan kantor. Beberapa lainnya, memilih ijin atau cuti kerja. Semua saling memahami masing-masing kepentingan.

Setelah proses pemulasaraan selesai, kemudian dilanjutkan dengan mensholatkan jenazah dengan diimami Pak Purwa. Sesaat kemudian ambulans datang, untuk segera mengantarkan jenazah Gatan ke Purwakarta.

Iring-iringan pengantar jenazah pun meninggalkan Corundum, diiringi dengan tatapan warga yang berkaca-kaca. Dari balik kemudi mobil, aku menoleh ke belakang. Sesuatu tercekat di tenggerokan, ketika Zaki, sahabat Gatan, menangis dan berteriak “Aku ingin ikut Gataaaaannn!!!”.

---

Di Purwakarta, Gatan dimakamkan di samping makam uyutnya yang masih bertanah merah dan dengan taburan kembang setaman. Semua larut dalam duka kesedihan.

Pulang dari pemakaman, saat istirahat sejenak sebelum kembali ke Bekasi, aku berbicara dengan nenek Gatan. Ia sangat terpukul sekali, ia bahkan bertanya, kanapa tidak ia saja yang telah lanjut usia yang dipanggil Tuhan. Ia sedih karena sang cucu belum puas mereguk kehidupan. Aku, hanya membisu, hanya mencoba memahami perasaan seorang nenek, ibu dari seorang ibu yang ditinggalkan buah hatinya. Yang bahkan rela jika harus menggantikan hal-hal pahit yang dialami orang-orang yang dicintainya.

Di lain kesempatan, dengan berbisik Pak Ronald berujar kepadaku; “Itulah seorang ibu, selalu ada cinta buat anak-anaknya. Saya masih ingat ketika mendiang kakak perempuan saya wafat. Ibu saya, yang dalam beberapa hal dengan almarhum pernah berselisih paham, adalah orang yang sangat-sangat terpukul dan kehilangan”.

Ah, lagi-lagi aku makin percaya, seorang ibu memang memiliki cinta yang tak terbantahkan.

---

Pulang ke Bekasi, sepanjang perjalanan aku mendengar ibunda Gatan masih saja terisak menangis. Lamat-lamat aku mendengarnya terbata kerap berucap, “Kenapa Dede gak ikut pulang? Kenapa Dede kita tinggalkan?”.

Untuk kesekain kalinya, aku tak menyangsikan lagi, betapa kasih ibu sepanjang jalan. Selama hayat dikandung badan…



[Teruntuk Gatan. Kepergiannya membuka mata dan hati, bahwa kami yang ditinggalkan, akan selalu bersama saling menjaga. Dan untuk para ibu yang tak pernah kehabisan mencurahkan cinta]