kauselaludihatiku

apa yang terkirim dari-Nya; orang-orang terbaik dan tercinta, yang mengkhianati, jalan hidup, saat-saat sulit, kebahagiaan, dan semua yang menghampiri dalam hidupku, hingga ke hal-hal yang remah, adalah nikmat untuk dikenang, diresapi, dihayati, dan ditangkap moment-moment puitiknya; untuk disimpan dalam hati. untuk segala itu; kauselaludihatiku.

My Photo
Name:

lelaki, majalengka-tiga dekade silam, jakarta.

Tuesday, March 27, 2012

Sekarang Ia Punya Troli

Perempuan itu sudah beranjak menua. Ia tak tahu, kapan persisnya tahun ia dilahirkan. Ia hanya bisa mengingat—itu pun kata orangtuanya—ia terlahir di Ngawi, beberapa saat setelah kerusuhan Madiun meletus di bawah kepemimpinan Muso. Ia tersenyum getir, seolah peristiwa getir pula yang menjadi penanda kelahirannya.

Beberepa dekade setelah peristiwa getir itu, kegetiran sepertinya tak jua beranjak dari hidupnya. Hingga nasib, membawanya hidup jauh dari sejahtera di Pedurenan, bersama anak-menantu, dan cucunya.

“Saya ingin tetap bekerja, ingin ngasih cucu saya uang jajan” katanya, ketika aku bertanya kenapa ia masih mau berjualan gula pasir kemasan dari rumah ke rumah.

“Beruntung, ada juragan yang bolehin saya bawa dulu barang jualannya, saya cuma ninggal katepe di tokonya”, lanjutnya, sambil menyeka butiran keringat di kening, yang tertutup kerudung merah jambu lusuh.

Aku diam, hanya menerka berapa berat beban yang selalu ia pikul setiap hari.

“Sehari saya bawa 15 kilogram gula, saya iderin ke blok C sampe blok H. Dari juragan harganya sebelas ribu tujuh ratus, saya jual dua belas ribu. Lumayan, saya dapet tiga ratus perak tiap kilonya” ia tersenyum, sepertinya bangga dengan rejeki yang didapatnya.

Aku masih diam, sambil menghitung-hitung berapa total laba yang ia dapatkan setiap hari. Aku hitung pula laba itu, jika dikonversikan dengan kebutuhan hidup, kira-kira dapat apa saja.

“Tapi alhamdulillaah, ada saja yang baik hati. Kadang ada yang beli sekilo tiga belas ribu, kadang ada yang kasih lima belas ribu, tanpa kembali” ujarnya, sambil membenahi selendang yang dijadikan alat mengangkut beban.

“Tapi saya ndak minta lho, saya hanya menerima apa yang diberikan kepada saya” dengan bersahaja ia mencoba membela harga dirinya.

Lagi-lagi aku tetap terdiam. Aku hanya merasa tak berharga apa-apa dibanding wanita renta ini…

---

Pagi sangat terik, meski matahari belum benar-benar meninggi. Di sela riuh suara anak-anak pengunjung kolam renang, lamat-lamat aku mendengar suara lirih sedikit lantang; “Gulaku… Gulaku…Gulaku”

Ah, nenek hebat itu sedang menjajakan dagangannya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ia tak lagi menggendong dagangannya dengan selendang yang melingkar di pundaknya. Kini ia menyeret sebuah troli.

“Alhamdulillaah, ada yang ngasih saya roda. Lebih ringan, dan kini saya bisa bawa lebih banyak dagangan". Ia berbinar mengabarkan.

Aku hanya senyum, dan lagi-lagi diam.

“Gusti Alloh Maha Baik, dan saya juga yakin, banyak orang-orang baik pada saya…”

Saya hanya diam. Dan diam-diam sekuat tenaga menahan, agar air mata tak jatuh berlinang…



(Corundum, di penghujung Maret yang kering…)