kauselaludihatiku

apa yang terkirim dari-Nya; orang-orang terbaik dan tercinta, yang mengkhianati, jalan hidup, saat-saat sulit, kebahagiaan, dan semua yang menghampiri dalam hidupku, hingga ke hal-hal yang remah, adalah nikmat untuk dikenang, diresapi, dihayati, dan ditangkap moment-moment puitiknya; untuk disimpan dalam hati. untuk segala itu; kauselaludihatiku.

My Photo
Name:

lelaki, majalengka-tiga dekade silam, jakarta.

Wednesday, September 19, 2012

Huma di Atas Bukit

"Nampaknya tiada lagi yang diresahkan, dan juga tak digelisahkan. Kecuali dihayati, secara syahdu bersama, selamanya..."  (Huma di Atas Bukit - God Bless)


Tak pernah terlintas keinginan di benakku, hidup terpencil di sebuah dusun kecil tak berlistrik, tersembunyi di balik bukit kecil gersang, dengan huma sebagai media tumbuh tanaman palawija di atasnya. Sebuah dusun dengan rumah-rumah kayu, berbaris di sisi sebatang jalan makadam yang membelah di tengah-tengahnya. Sementara di bagian selatan, timur, dan utara; sebatang sungai Kali Serang melingkar, menjadi pembatas dusun itu dengan desa sebelah. Sebuah wilayah geografi yang membuat aku terheran dan ingin mencari tahu, siapa leluhur yang pertama mendiami dusun itu, dan untuk alasan apa mereka ingin berdiam di sana. Tapi ini kenyataan yang benar-benar harus aku hadapi, sebuah petualangan berat harus dimulai di Kebon Agung, dusun paling terpencil dari Desa Lajer, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Dua bulan--Agustus hingga September 1996--aku dan ketiga mahasiswa lain, akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sana.

Seusai acara protokoler di pendopo kabupaten,  kami bergerak--masih dengan bisa yang sama--menuju kota kecamatan Penawangan. Lalu kami melanjutkan dengan truk terbuka ke Desa Lajer. Sebuah perjalanan berat, karena selama tujuh belas kilometer kami harus menikmati jalan rusak bergelombang. Dua jam kami baru bisa sampai ke desa yang dituju. Ternyata, perjalanan tak berakhir di situ. Masih harus berlanjut. Dengan diantar empat sepeda motor aparat desa, kami menuju dusun Kebon Agung. Motor-motor tua tertatih, mendaki bukit hingga ke puncaknya yang terbuka, dengan huma terhampar, dan sebuah gardu pandang polisi hutan. Jalan setapak itu kemudian menurun, dan digerbang dusun sebatang beringin tua tumbuh tegak. Di bawahnya ada dua kuburan dengan hanya batu besar sebagai nisan penanda. Matahari yang terhalang bukit, membuat beringin tua itu terlihat redup. Cukup membuat berdiri bulu tengkuk.

Lalu kami diterima di rumah Pak Kasno, kepala dusun yang selama dua bulan ke depan akan menjadi induk semang. Rumah kayu itu terlihat lapang di bagian depan, namun di bagian belakang hanya memiliki dua kamar sempit yang keduanya akan kami gunakan. Di belakang kamar sempit yang berhadapan itu, ada ruang makan sederhana, dengan meja kayu tua, dan sebuah lincak jati besar sebagai bangku utama. Di bagian kanan rumah, adalah dapur dengan dua tungku tanah berbahan bakar kayu. Sedangkan di sisi kiri, kandang sapi berisi tiga hewan ternak kepunyaan empunya rumah. Bau pesing kencing sapi, terasa menyeruak ke ruang makan. Kami tak bisa membayangkan jika harus makan di sana.

Kondisi rumah seperti itu sepertinya cukup membuat nyali dan selera kami ciut. Tapi ada satu hal lagi yang membuat kami sangat ragu untuk bisa bertahan di sini dua bulan lamanya. Rumah ini, juga rumah-rumah lain di dusun ini, tak memiliki kamar mandi, apalagi WC untuk buang hajat Untuk keperluan maha penting itu, termasuk mandi, penduduk dusun ini terbiasa menunaikannya di Kali Serang. Kami terhenyak diam, dan saling berpandangan. Bagaimana jika kami kebelet tengah malam?

Hari-hari berat pun dimulai. Membiasakan diri mandi di sungai, atau makan malam yang tiba-tiba harus kehilangan selera karena aroma tak sedap dari kandang sapi, bukanlah perkara mudah. Belum lagi membiasakan dengan menu makan yang jauh dari yang kami bayangkan. Di minggu pertama, kami--terutama dua mahasiswi--mulai dihinggapi rasa tertekan yang hebat. Sepertinya, dua bulan ke depan, akan terasa panjang dan melelahkan.

Rupanya, keterpaksaan membuat kami harus cepat beradaptasi. Dan lambat laun, malah menikmati hal-hal sederhana yang ada di dusun ini. Kami mulai menikmati riuh pepujian anak-anak dari pengeras suara di surau, nada lenguh sapi, atau indahnya purnama yang tak terpolusi oleh sinar lampu merkuri. Indah meski sangat-sangat bersahaja. Terlebih dengan keramahan seluruh warga dusun. Rekah senyum tulus ibu-ibu, tegur sapa bapak-bapak, atawa tawa jenaka anak-anak, menjadi pengobat sepi kami di dusun terpencil ini. Kami mulai riang larut dalam acara-acara di dusun ini; seperti nyulur (menanam benih kedele), pengajian malam jumat, atau pesta kenduri yang membuat kami bisa makan lebih enak dari biasanya.

Kami pun mulai terbiasa dengan hal-hal pahit yang dialami dusun ini. Seperti jadwal pengeringan Kali Serang setiap dua minggu sekali yang membuat denyut nadi dusun ini sedikit terganggu. Kali Serang adalah sebuah sungai yang berasal dari Bendungan Kedung Ombo, dan ketika musim kering, setiap dua minggu pintu air bendungan ditutup. Ini membuat pasokan air ke Kali Serang menjadi tidak ada sama sekali. Ada solusi unik untuk mandi, yaitu kami harus mengeruk pasir di dasar sungai yang mengering. Kami membuat lubang seperti kolam kecil, sehingga air mengalir dari kerukan pasir tersebut. Kami harus sabar menunggu air penuh, lalu membuangnya dulu karena keruh. Terus menerus seperti itu, sampai air yang keluar lebih bening. Di sini kami benar-benar harus menghargai setiap tetes air.

Kepahitan lain, seperti gagal panen atau pertolongan medis yang minim ketika sakit, membuat penduduk warga ini teruji. Teramat jarang, bahkan tak pernah mendengar mereka mengeluh. Lisan mereka, lebih banyak mengucap syukur, memuji segala PemberianNya. Garis wajah yang gembira ditempa kerja keras, membuat kami harus belajar banyak tentang menghargai hidup.

Dua bulan yang gersang di dusun terpencil, kami melihat pelajaran tentang keberanian menjalani hidup. Karena sepertinya bagi mereka, tak ada lagi yang diresahkan, dan juga tak digelisahkan.

Kecuali dihayati, secara syahdu bersama, selamanya....


(Corundum September 2012, mengenang Dusun Kebon Agung, di kemarau panjang Agustus-September 1996)